Kamis, 23 Juli 2009

Jihad Membentuk Entrepreneur Muslim


By : Rahmat Alam (Alumni Kubik Training)

Ketika sedang meluncurkan buku saya “Panduan Jihad Untuk Aktivis Gerakan Islam”, Ketua Umum Muhammadiyah dan Wakil Ketua MUI, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, yang ketika itu menjadi salah seorang pembahas bersama Dr. M.Hidayat Nurwahid, Ketua MPR RI, memberikan komentar yang selalu mendorong saya untuk mendalami masalah jihad. Pertama beliau menilai bahwa pemikiran dalam buku Panduan Jihad adalah sebuah tajdid atau pembaharuan makna dalam pengertian jihad dan aplikasinya dalam dunia kontemporer. Kedua beliau menilai buku tersebut belum dilengkapi dengan pembahasan mengenai masalah “Jihad Iqtishody” atau jihad dalam bidang ekonomi dan beliau sangat mengharapkan pembahasan masalah tersebut. Sejak saat itu saya terus mendalami masalah yang berkaitan, berfikir dan berusaha untuk membuat sebuah buku yang berkaitan dengan jihad dalam bidang ekonomi (al-Jihad al-Iqtishody).

Rupanya apa yang saya fikirkan tidak semudah dalam kenyataannya. Akan mudah jika hanya sekedar menganalisis dan membahas teori-teori tentang jihad ekonomi, atau mengemukakan sejarah kegemilangan para pelaku bisnis Islami pada zaman Rasulullah atau sahabat saja. Untuk membahas Jihad Ekonomi secara konprehensif, saya mengalami kesulitan demi kesulitan, terutama dalam menentukan dan memilih profil pengusaha dalam kehidupan kontemporer yang dapat dikategorikan sebagai seorang Mujahid Iqtishody, Mujahid Bisnis, Mujahid Entrepreneur atau seorang yang menjalankan jihad dalam bidang ekonomi dan benar-benar berhasil sebagai tentara Allah yang menegakkan Islam dalam kehidupan bisnis secara kaffah dan berhasil menjadi seorang yang sukses dalam arti kemenangan dunia akhirat sebagaimana yang telah dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah dan para sahabat agungnya. Saat ini mungkin kita dapat menemui banyak tokoh-tokoh Mujahid Dakwah, Mujahid Asykary (Laskar Jihad), Mujahid Siyasi, Mujahid Ta’limy dan lainnya. Namun untuk mencari sosok seorang Mujahid Iqtishody tidaklah semudah yang dibayangkan karena pengusaha muslimpun belum tentu berani menyatakan dirinya sebagai seorang mujahid di jalan Allah.

Anda mungkin pernah mendengar nama-nama besar para pengusaha muslim klas dunia seperti Pangeran Walid al-Thalal (Pemegang saham terbesar CitiCorp dan pengusaha propperti), Adnan Kashogy (Pengusaha dan Pialang senjata), Bin Laden Group (Konstruksi) , atau beberapa pengusaha bidang keuangan seperti Bin Mahfudz Group, Al-Rajihi Group, Dalla al-Baraka Group dan lainnya. Di negeri jiran Malaysia ada Tun Daim Zainuddin (Pengusaha Properti), Tajudin Ramli (Pemegang saham MAS), Tengku Adnan Mansur, FD. Manshoor (Pemilik Glomec Group) dan lainnya. Di Indonesia banyak para pengusaha muslim yang telah mencapai kesuksesan dengan keberhasilan mereka mengembangkan perusahaannya sampai menjadi sebuah konglomerasi yang menggurita. Bahkan diantara mereka menjadi orang-orang kaya yang mempengaruhi kebijakan negara, misalnya kita sebut beberapa nama seperti Yusuf Kalla (Pemilik Kalla Group dan Wakil Presiden RI), Abu Rizal Bakrie (Pemilik Bakrie Group dan Menko Kesra RI), Fadel Muhammad (Pengusaha dan Gubernur Gorontalo), Rahmat Ismail (Pengusaha Media dan Aktivis Sosial), Ibrahim Risyad (Pengusaha dan Bankir), Sutrisno Bachir (Pengusaha dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional), Arifin Dipenegoro (Pemilik Medco Group dan anggota DPR), Chairul Tanjung (Pemilik Bank Mega, Trans TV dan Para Group), A. Latief (Pemilik Sarinah Group dan Lativi), Surya Paloh (Pemilik Media Group, Metro TV dan Ketua Pembina Golkar), Rahmat Gobel (Pemilik Nasional Gobel), M. Lutfie (Pemilik Republika, Mahaka Group dan Ketua BKPM), dan banyak lagi sederetan nama-nama besar pengusaha muslim di Indonesia.

Coba Anda tanyakan kepada para pengusaha muslim yang sukses dan kaya tersebut, apakah mereka berani menyatakan diri sebagai Mujahid Entrepreneur, seorang pelaku jihad fi sabilillah sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya yang telah melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam dunia bisnis yang mereka jalankan? Anda pasti yakin, mereka tidak akan berani mengklaim diri sebagai Mujahid Fie Sabilillah karena sebagian besar dari mereka masih terlibat dengan sistem ekonomi non-Islami, ekonomi kapitalisme- sekuler yang dilarang oleh Islam, misalnya di antara mereka masih menggunakan jasa bank konvensional yang menerapkan riba yang jelas-jelas haramnya dalam Islam sebagaimana yang difatwakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atapun Lembaga Fatwa Islam Internasional di Saudi Arabia.

Anda juga pasti mengalami kesulitan seperti yang saya alami. Bagaimana kita dapat mendifinisikan dan mengkategorikan seorang pengusaha muslim yang benar-benar dapat disebuat sebagai Mujahid Entrepreneur, seorang tentara Allah yang benar-benar telah menerapkan ajaran-Nya dan Rasul-Nya secara sempurna dan konsekwen. Anda dan saya pasti sepakat, bahwa bagaimanapun sulitnya masalah ini, wajib diusahakan keberadaannya, karena merupakan tuntutan syariat yang wajib dijalankan bagi kemashlahatan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Tidak diragukan apabila mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam yang berjumlah lebih 87% ini dapat berhasil menjadi pengusaha-pengusaha sukses, maka keterpurukan dan keterbelakangan bangsa dan negara akan dapat di atasi sekaligus mengantarkan bangsa Indonesia menjadi sebuah negara maju yang adil dan makmur sebagaimana cita-cita para pahlawan dan pendiri bangsa.

Keterpurukan bangsa Indonesia akibat krisis moneter yang menerpanya sejak akhir tahun 90an lalu, bukan hanya mendatangkan bencana ekonomi dan sosial dengan segala dampak negatipnya, seperti merebaknya pengangguran, meningginya kemiskinan, berjangkitnya kerusakan moral, kriminalitas danmasalah-masalah sosial lainnya. Di sisi lain kita perlu dilihat sisi positipnya, bahwa bencana ekonomi ini telah melahirkan generasi muda yang memiliki kesadaran dan pencerahan akibat tekanan-tekanan ekonomi yang timbul pasca krisis moneter yang hampir mengantarkan bangsa dan negara menuju kebangkrutan. Dengan sisa-sisa semangat dan kemampuan yang ada, generasi terpilih dan tegar ini berjuang keluar dari gelombang resesi, badai moneter dan topan globalisasi ekonomi. Merekalah generasi muda yang memiliki watak entrepreuneurship yang akan menjadi cikal bakal pengusaha-pengusaha sukses yang akan mengeluarkan bangsa dan negara Indonesia dari keterpurukannya saat ini. Di antara mereka terdapat generasi muda Islam yang memiliki keyakinan bahwa ajaran Islam dapat mengantarkan mereka menuju kesuksesan sejati. Di tengah hiruk pikuknya persaingan ekonomi global, mereka coba mengusung tema-tema ekonomi Islami dengan berbagai pendekatannya yang mulai diminati dan menjadi alternatif.

Meningginya gairah dan semangat entrepreneurship dikalangan generasi muda muslim telah mendorong mereka untuk mencari berbagai referensi untuk menjadi seorang pengusaha yang sukses. Sayangnya, sebagian besar buku referensi ataupun contoh kesuksesan yang ditampilkan berdasarkan pada sistem nilai Barat sekuleristik, budaya, etos kerja, filsafat ataupun pandangan hidup orang-orang non-Muslim yang sangat jauh berbeda bahkan bertentangan dengan budaya, sejarah, peradaban dan ajaran agama generasi muslim tersebut. Membanjirnya buku-buku panduan cepat kaya yang ditulis oleh para pemikir Barat seperti Norman V. Peale, Dale Carnegie, Ziz Ziglar, Stephen R. Covey, Robert T. Kiyosaki, Rich Devos, Denis Waitley, Jack M. Zufelt sampai Peter Drucker dan lainnya hanya memberikan contoh-contoh keberhasilan pada masyarakat bebas nilai seperti di Amerika pada umumnya, yang mana hal ini masih perlu dipertanyakan urgensinya ataupun kesesuainnya dengan ajaran Islam. Demikian pula cara sukses yang ditempuh para kapitalis seperti Henry Ford (Pendiri Ford Corp), Bill Gates (Pendiri MicroSoft), Rich Devos (Pendiri Amway), Sam Walton (Wal Mart) dan lainnya apakah dapat ditiru oleh generasi muda muslim dalam menggapai cita-citanya sebagai seorang entrepreneur muslim yang dapat menyandang predikat mujahid entrepreneur yang akan memperoleh kemenangan dan kesuksesan dunia akhirat.

Tidak dinafikan memang ada usaha-usaha serius beberapa penulis muslim untuk mengisi kekosongan tersebut, baik penulis dari Timur Tengah seperti Aid al-Qorny, Ibrahim Al-Quayyid, Asyraf Muhammad Dawabah, Ibrahim El-Fiky ataupun beberapa nama penulis seperi Ary Ginanjar, Rhenal Kasaly, Farid Poniman dan lainnya. Namun sejauh ini belum ada sebuah literatur pamungkas yang membahas karakteristik dan pembinaan mujahid entrepreneur dalam arti yang sebenarnya dengan sebuah lembaga pendidikan dan pelatihannya. Padahal literatur Islam dipenuhi dengan berbagai ajaran dan nilai-nilai yang sangat kaya raya, termasuk bagaimana cara melahirkan manusia-manusia unggul dan sempurna sebagaimana dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, terutama dalam bidang spiritualitas Islam yang menjadi fondasi utama dalam pembentukan managerialship, leadership dan entrepreneurship yang saat ini sangat diminati oleh masyarakat Barat. Demikian pula dalam sejarah perkembangan Islam telah lahir para pengusa-pengusaha agung yang disegani seperti Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Sa’ad bin Rabi’ dan lainnya. Nabi Muhammad saw sendiri adalah seorang pengusaha besar yang berpengaruh sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Dari hasil survey dan pengamatan yang saya lakukan, walaupun ada di antara pengusaha muslim yang telah berupaya menegakkan syariat Islam dalam bisnisnya, namun pada saat yang sama mereka masih tetap menggunakan cara-cara yang diharamkan Islam ataupun masih syubhat, apakah dalam instrumen, metode, atau kebiasaan dan karakter yang tidak Islami, seperti tidak menepati janji, berbohong, menipu ataupun menggunakan trik-trik bisnis modern yang masih dipertentangkan hukumnya. Atau ada juga pengusaha muslim yang telah berupaya menerapkan kaedah-kaedah ekonomi Islam dalam bisnisnya, namun secara pribadi terjebak dalam pola kehidupan kaum kafir hedonis yang tidak bermoral, terlalu serakah terhadap harta ataupun terlalu pelit dan bakhil. Untuk menjamu tamu bisnisnya mungkin dia bisa menghabiskan puluhan atau ratusan juta rupiah, namun berapakah yang disedekahkan untuk fakir miskin, yatim piatu, orang terlantar, pengembangan pendidikan-sosial Islam ataupun perjuangan menegakkan Islam.

Banyak para pengusaha muslim yang puas hati dengan apa-apa yang telah dilakukannya saat ini, kemudian mereka merasa aman dengan apa yang dilakukannya. Mereka tenang dan senang dengan pola kehidupan yang dijalankannya saat ini, membangun rumah-rumah super mewah menyaingi konglomerat kafir kapitalis-sekuler yang kadangkala mubadzir karena tidak ditempatinya, memiliki mobil-mobil mewah yang tidak mampu dikekendarainya, ataupun hidup berfoya-foya dari satu mal ke mal yang lain untuk menumpuk koleksi yang tidak akan pernah memuaskan nafsu serakah. Ironisnya, mereka masih merasa sebagai seorang muslim, aman dari pertanyaan dan pertanggungjawaban hartanya yang pasti akan ditanyakan Sang Pemiliknya kelak, darimanakah harta diperolehnya dan kemanakah didistribusikannya.

Di dalam sejarah Islam, terlalu banyak contoh pribadi-pribadi agung yang berprofesi sebagai pengusaha berhasil yang dapat dijadikan contoh sepanjang masa, di antaranya seperti sahabat Nabi saw, Abdurrahman bin Auf. Inilah contoh karakteristik konglomerat muslim sejati di zaman kegemilangan Islam, sebagaimana dikutip Khalid M. Khalid dalam bukunya Rijal Haula al-Rasul:

“Pada suatu hari, bumi kota Madinah seolah-olah bergetar, terdengar suara gemuruh dan hiruk pikuk. Ummul Mukminin Aisyah bertanya, “Suara apakah yang hiruk pikuk. Apa yang telah terjadi di kota Madinah?”. Orang-orang menjawab, “Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam membawa barang-barang dagangannya, dengan iring-iringan tujuh ratus unta bermuatan penuh membawa sandang pangan dan keperluan-keperluan penduduk.” Ummul Mukminin berkata, “Semoga Allah melimpahkan keberkahan-Nya bagi Abdurrahman bin Auf dengan baktinya di dunia serta pahala yang besar di Akhirat.” Selanjutnya, beliau berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan merangkak.” Sebelum iring-iringan unta berhenti dan tali temali perniagaan belum dilepaskan, berita dari Ummul Mukminin itu telah sampai kepadanya. Secepat kilat, Abdurrahman bin Auf datang menemui Aisyah dan berkata, “Anda telah mengingatkan aku dengan sebuah hadits yang tidak pernah kulupakan.” Dia kemudian berkata, “Kini, saksikanlah bahwa kafilah ini dengan seluruh muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah Azza wa Jalla.” Maka, dibagikanlah muatan tujuh ratus unta itu kepada seluruh penduduk Madinah dan sekitarnya sebagai suatu amal yang mulia di jalan Allah.”

Sejarah Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat dekat Nabi yang menjadi konglomerat muslim, mujahid sejati, entrepreneur mujahid yang sangat indah ini tidak perlu dikomentari. Apakah kemudian dengan menyedekahkan hartanya di jalan Allah, Abdurrahman bin Auf menjadi miskin? Ternyata tidak, Abdurrahman tidak pernah jatuh miskin dan papa, bahkan dia menjadi konglomerat terbesar dunia yang tiada tertandingi, yang telah menaklukkan konglomerat- konglomerat terbesar di zamannya bersamaan dengan perkembangan Islam yang telah menguasai 2/3 dunia di zaman Khalifah Umar Ibn Khattab. Karena mujahid bisnis seperti Abdurrahman sangat yakin dengan janji Allah dalam al-Qur’an: “Perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (al-Baqarah : 261)

Perilaku bisnis yang dijalankan Abdurrahman bin Auf sebagaimana yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya telah mengantarkannya kepada taraf seorang Mujahid sejati yang tidak dapat disaingi atau dikalahkan oleh pengusaha-pengusaha non-muslim di zamannya. Islam yang agung dan sempurna telah mencetak pribadi Abdurrahman menjadi manusia unggul yang terunggul dalam bidangnya, sebagai seorang pengusaha muslim terbesar. Mengenai kebesarannya sebagai seorang entrepreneur, Khalid M. Khalid menukilkan: “Keberuntungannya dalam perniagaan sampai suatu batas yang membangkitkan dirinya pribadi ketakjuban dan keheranan, hingga dia berkata: ”Sungguh, kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu niscaya kutemukan di bawahnya emas dan perak…..!”.

Tidak diragukan bahwa Abdurrahman bin Auf adalah sebaik-baik dan seagung-agung entrepreneur sepanjang sejarah kemanusiaan. Tindak tanduk dalam kehidupannya adalah sumber inpirasi dan motivasi bagi siapa yang mengenalnya. Yang dihadirkan Sang Pencipta sebagai teladan sepanjang masa, karena dia dibina oleh manusia teragung, Muhammad saw, dari sumber Yang Maha Agung, dan tumbuh berkembang dilingkungan dan masyarakat agung yang berhubungan langsung dengan langit melalui perantaraan wahyu yang diturunkan kepada malaikat Jibril. Seluruh kesempurnaan seorang entrepreneur sejati ada padanya, secara personalitas, karakter, mental, moral dan spiritual yang berkembang berdasarkan ajaran Islam.

Untuk menjadi seorang Mujahid Entrepreneur, tentara Allah yang menjalankan syariatnya secara kaffah dalam dunia bisnis, bukanlah perkara yang terlalu mudah, bahkan mungkin orang akan menganggap pemikiran ini ketinggalan zaman dan tidak masuk akal. Namun tidak ada yang sukar bagi ajaran Allah dan Rasul-Nya, karena memang ajaran-ajaran Islam yang agung, mulia dan sempurna ini diturunkan untuk membimbing manusia menuju kemenangan hidup di dunia dan akhirat, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat Nabi. Islamlah yang telah melahirkan manusia-manusia agung seperti konglomerat muslim sejati seperti Abdurrahman bin Auf, dan Islam pasti dapat melahirkan kembali para konglomerat agung sepanjang masa, karena Islam diturunkan sebagai petunjuk umat manusia sepanjang masa.

Mereka yang menganggap menjadi pengusaha muslim yang taat adalah tidak masuk akal atau ketinggalan zaman adalah orang yang lari dari keyataan sejarah, bahkan mereka telah berprasangka buruk pada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Bahwa kegagalan demi kegagalan atau keterbelakangan demi keterbelakangan yang dialami oleh kaum muslimin, termasuk para pengusaha dan konglomeratnya, pasti dan sangat pasti bukan disebabkan oleh ajaran Islam yang sempurna…!!!

Saya pernah bertemu dengan para pengusaha yang berfikiran seperti itu. Mereka beranggapan untuk sukses dalam dunia bisnis harus meniru pengetahuan dan perilaku para pengusaha kafir kapitalis-sekuler yang kenyataannya memang berhasil menguasai dunia bisnis. Bahkan ada yang dengan lantang menyatakan “kalau kita ikuti ajaran Islam secara ketat, mana mungkin kita dapat menjadi konglomerat seperti orang-orang non muslim, jadi kita harus ikuti cara bermain mereka agar kita dapat menyamai mereka…”.

Inilah penyebab utama kekalahan para pengusaha muslim. Mereka mengakui Islam sebagai agamanya, melaksanakan shalat, naik haji, namun ketika berbisnis menggunakan cara-cara orang kafir, dan mereka mengganggap dirinya berhasil. Walaupun kenyataannya memang ada sebagian mereka yang berhasil menjadi konglomerat. Tapi ketahuilah bahwa seandainya mereka, pengusaha muslim yang sudah dapat menjadi konglomerat itu menerapkan ajaran Allah dan Rasul-Nya dalam dunia bisnis, maka pastilah pencapaian mereka akan jauh lebih dahsyat dan hebat lagi. Mereka pasti akan dapat mengalahkan semua bentuk permainan dan trik kaum kafir kapitalis-sekuler itu, mereka pasti akan menjadi konglomerat terbesar yang tak tertandingi. Ini bukan hayalan dan utopia, karena Abdurrahman bin Auf telah membuktikannya.

Ketika Abdurrahman bin Auf baru tiba hijrah di Madinah dari Makkah, dia mulai menjalankan bisnisnya. Seorang pelarian seperti Abdurrahman tentu tidak memiliki modal kuat seperti yang dimiliki para pengusaha Madinah, seperti kaum Yahudi yang tengah menguasai pasar Madinah pada saat itu. Walaupun Abdurrahman dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’ seorang pengusaha terkemuka Madinah oleh Nabi saw, namun beliau tidak memanfaatkan kekayaan saudaranya, atau menikmatinya dengan nganggur dan ongkang-ongkang.

Dari Anas ra, telah berkata:…. “dan berkatalah Sa’ad kepada Abdurrahman: “Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silahkan pilih separoh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang isteri, coba perhatikan yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperistrinya… .!” Jawab Abdurrahman bin Auf: “Semoga Allah memberkati anda, isteri dan harta anda!, tapi tunjukkan letaknya pasar agar aku dapat berbisnis…..!”

Ya, itulah karakteristik mujahid bisnis sejati. Ketika ditanya tentang kebutuhannya, Abdurrahman hanya berkata: “Tunjukkan aku pasar”. Saudara pengusahanyapun menunjukkan pasar Madinah yang didominasi pedagang Yahudi dengan segala hiruk pikuknya dan beliau menganalisis keadaan pasar dengan segala seluk beluknya. Hasil analisis Abdurrahman ditindaklanjuti dengan pengajuan rekomendasi kepada Rasulullah sebagai Pemimpin komunitasnya. “Pisahkan pasar Yahudi dengan pasar Kaum Muslimin”, rekomendasinya kepada Rasulullah yang diterima dan ditaati oleh komunitas muslim Madinah.

Dengan adanya dua pasar, pasar Yahudi dan pasar Islam, maka Abdurrahman telah menciptakan persaingan sehat antara kedua pasar dengan dua sistem, infrastuktur dan kualitas SDM-nya. Apa yang terjadi kemudian? Hanya dalam hitungan hari, pasar Yahudi yang penuh tipu daya, trik-rtik busuk dan kebohongan itu sepi yang akhirnya tutup akibat dijauhi konsumennya yang berpindah kepada pasar Islam yang mengutamakan kejujuran, keterbukaan, persaingan sehat, penuh persaudaraan yang dikomandoi mujahid bisnis Abdurrahman bin Auf dengan beberapa kolega usahanya dari kalangan Muhajirin dan Anshor.

Itulah sebabnya, ketika Abdurrahman bin Auf, sang entrepreneur mujahid ini ditanya tentang kisah sukses bisnisnya, beliau mengatakan bahwa kunci keberhasilannya sebagai seorang konglomerat muslim adalah “kejujuran”. “Jika barang itu rusak katakanlah rusak, jangan engkau sembunyikan.” “Jika barang itu murah, jangan engkau katakan mahal.” “Jika barang ini jelek katakanlah jelek, jangan engkau katakan bagus”. Hanya dengan kejujuran (as-sidqu wa al-amien) pasar Yahudi yang telah mendominasi Madinah terkalahkan. Itulah sebabnya Rasulullah bersabda: “Pengusaha yang jujur lagi amanah akan bersama para Nabi, orang-orang yang Syahid dan orang-orang Soleh.” (HR. Tirmidzi).

Revitalisasi Entrepreneurship Umat Islam


Agustianto
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Dosen Pascasarjana UI Jakarta

Perkembangan ekonomi syariah dalam bentuk lembaga perbankan dan keuangan syariah yang sangat pesat saat ini, seharusnya dibarengi dengan peningkatan etos entrepreneurship umat Islam. Semangat entrepreneurship tersebut harus dianggap sebagai salah satu unsur terpenting dalam gerakan ekonomi syariah yang sedang berlangsung. Lembaga pendidikan Islam, harus menjadikan entrepreneurship sebagai salah satu materi dalam kurikulum pendidikan, baik pendidikan menengah maupun pendidikan Tinggi. Demikian pula ormas Islam harus turut mendorong anggotanya untuk mengembangkan entrepreneurship. Para ulama, ustaz atau da’i juga seyogianya mendorong jamaahnya untuk merevitalisasi etos entrepreneurship yang sekian lama kurang dianggap penting dalam konstruksi peradaban Islam.


Upaya membangun kembali semangat dan jiwa kewirausahawaan umat Islam Indonesia, merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar. Setidaknya, ada tiga dasar pemikiran mengapa rekonstruksi entrepreeusuship umat Islam menjadi penting .
Pertama, umat Islam sejak kelahirannya, memiliki jiwa dan etos kewirausahaan yang tinggi. Nabi Muhammad dan sebagian besar sahabat adalah para pedagang dan entrepreneur manca negara. Proses penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia sampai abad 13 M, dilakukan oleh para pedagang muslim. Masuknya Islam ke Indonesia dan upaya penyebarannya di Asia Tenggara, juga dibawa oleh para pedagang tersebut. Bukti nyata hal ini terlihat bahwa di setiap pesisir pantai Indonesia dan Nusantara penduduknya beragama Islam. Dengan demikian, etos entrepreneurship sesungguhnya memang sangat melekat dan inheren dengan diri umat Islam.


Ajaran Islam sangat mendorong entrepreneurship bagi umatnya, karena itu bagi seorang muslim, jiwa kewirausahaan tersebut, seharusnya sudah menjadi bagian dari hidupnya. Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar bekerja dan beramal, “Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasulnya dan orang beriman, akan melihat pekerjaanmu” (QS.9:105). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Apabila kamu telah melaksanakan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah rezeki Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung (QS 62:10). Tidak terhitung pula banyaknya hadits Nabik yang mendorong pengembangan semangat entrepreneurship. ”Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki (H.R.Ahmad). ”Sesungguhnya sebaik-baik mata pencaharian adalah seorang pedagang (entrepreneur)”. (H.R.Baihaqy)
Kedua, Kondisi ekonomi umat Islam Indonesia sudah sekian lama terpuruk, maka perlu revitalisasi entrepreneurship umat Islam. Amin Rais, dalam buku “Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri” (1986) menyatakan keprihatinannya yang sangat mendalam tentang fenomena kemerosotan umat Islam di bidang ekonomi. Para wiraswastawan di bidang tenun, batik dan lainnya menurut Amin, telah mengalami kemunduran karena tidak fit lagi dalam survival test proses perekonomian bangsa yang mengarah pada kapitalisme komparador. Di mana terjadi proses alienasi dan deprivatisasi ekonomi rakyat (baca: umat Islam).


Umat Islam sudah sangat letih dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang panjang, problem kemiskinan dan keterbelakangan akibat termarginalkan dalam ekonomi dan bisnis. Kinilah saatnya kita mengembangkan dan membangun pengusaha-pengusaha pemerataan ekonomi yang dicita-citakan oleh umat Islam (pribumi) yang tangguh dalam jumlah besar. Tujuannya untuk mewujudkan negara ini. Lebih dari itu, kinilah momentumnya kita membangun landasan yang kokoh, yakni memperbanyak pilar para pengusaha pribumi itu yang menyangga bangunan ekonomi bangsa.


Ketiga, Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan tersebut hendaknya diimbangi dengan tumbuhnya para entrepreneur syariah. Tumbuhnya etos entrepreneurship yang tinggi -khususnya bagi generasi umat- akan berdampak positif terhadap kemajuan dan kebangkitan ekonomi umat sebagaimana yang terjadi di masa silam sekaligus berdampak positif bagi lembaga perbankan dan keuangan itu sendiri. Karena itu, para pengusaha muslim hendaknya dapat memanfaatkan lembaga perbankan dan keuangan tersebut dalam mengembangkan usahanya.
Entrepreneurship Santri


Secara historis dan antropologis, umat Islam Indonesia memiliki naluri bisnis yang luar biasa. Penelitian para ahli sejarah dan antropologi menunjukkan bahwa pada masa sebelum penjajahan, para santri memiliki semangat dan gairah yang besar untuk terjun dalam dunia bisnis, sebagaimana yang diajarkan para pedagang muslim penyebar agama Islam. Hal ini mudah dipahami karena Islam memiliki tradisi bisnis yang tinggi dan menempatkan pedagang yang jujur pada posisi terhormat bersama Nabi, syuhada dan orang-orang sholih. Islam, sebagaimana disebut di atas, sangat mendorong entrepreurship (kewirausahaan) bagi umatnya. Karena itu, para santri adalah pioner kewirausahaan di kalangan pribumi sehingga mereka selalu diidentikkan dengan kelas pedagang (orang pasar).

Karena itu, tidak aneh bila daerah-daerah santri selalu menjadi konsentrasi perdagangan dan industri, seperti Bukit Tinggi, Aceh Pidie, Pekajangan, Laweyan, Bekonang dengan batik dan tenunnya. dsb. Masyarakat santri di inclave ini dikenal luas sebagai memiliki gairah ekonomi dan etos entrepreneurship yang tinggi. Di masa lampau para santri adalah pedagang dan menjadi kelompok borjuis, yang kadang selalu menyebut priyayi secara pejoratif sebagai tidak sembahyang dan tidak punya uang.


Secara sosiologis-antropologis, pengusaha santri (muslim) adalah mereka yang dipengaruhi oleh etos kerja Islam yang hidup di lingkungan di mana mereka bekerja. Fakta ini merupakan hasil studi antropolog AS, Clifford Geertz, terutama dalam bukunya “The Religion of Java” (1960), dalam upaya untuk menyelidiki siapa di kalangan muslim yang memiliki etos entrepreneurship seperti “Etik Protestantisme”, sebagaimana yang dimaksud oleh Max Weber. Dalam penelitian itu, Geertz menemukan, etos itu ada pada kaum santri yang ternyata pada umumnya memiliki etos kerja dan etos kewiraswastaan yang lebih tinggi dari kaum abangan yang dipengaruhi oleh elemen-elemen ajaran Hindu dan Budha.


Dari hasil penelitian itulah timbul dugaan kuat bahwa etos kerja semacam itu hidup di sentra-sentra industri kecil dan kerajinan di Jawa. Studi Dawam Raharjo dan pakar lainya, melihat etos yang sama pada suku-suku bangsa Indonesia yang kuat pengaruh Islamnya, khususnya suku-suku Minang Kabau, orang-orang Pidie, Orang Aklabio di antara suku Banjar, suku Bugis Sulawesi selatan atau Gorontalo Sulawesi atau orang-orang Bali Muslim (Dawam, 1999).


Dalam buku Pedlers and Princes, (1955), Clifford Geertz juga menyatakan bahwa di Jawa, para santri reformis mempunyai profesi sebagai pedagang atau wirausahawan dengan etos entrepreneurship yang tinggi. Selanjutnya Geertz memprediksi bahwa di masa depan, para santri itu akan tampil sebagai elite pengusaha pribumi di negeri ini. Dalam waktu yang panjang (bahkan sampai tahun 2000an), prediksi Geertz tersebut dipandang keliru, karena ternyata kaum santri marginal dalam bidang ekonomi dan bisnis. Tetapi perkembangan terkini kelihatannya akan membenarkan prediksi Geertz tersebut. Karena gerakan ekonomi syariah turut mendorong tumbuhnya etos entrepreneurship itu kembali. Dengan perkembangan ekonomi syariah, muncul horizon baru untuk merekonstruksi etos entreprenership tersebut.


Dalam perspektif antropologis dan historis, satu satunya kader paling potensial untuk tampil sebagai pengusaha adalah kelompok santri. Mereka adalah para pengusaha yang gigih dan puritan secara etik, hemat dan sederhana, tetapi memiliki etos entrepreneurship yang sangat tinggi.

Nama-nama pengusaha muslim yang berhasil pada zaman Hindia Belanda, di antaranya Abdul Ghany Aziz, Agus Dasaad, Djohan Soetan, Perpatih, Jhohan Soetan Soelaiman, Haji Samanhudi, Haji Syamsuddin, Niti Semitro dan Rahman Tamin. Daftar tersebut menjadi lebih panjang ketika dilaksanakan apa yang dikenal dengan sebutan Program Benteng antara tahun 1949-1959.


Oleh karena tingginya etos entrepreneurship umat Islam Indonesia masa lampau, maka hampir semua peneliti mengakui bahwa santri memiliki jiwa entrepreneurship yang tinggi, melebihi kelompok manapun, termasuk orang Tionghoa.
Dalam konteks sejarah dunia pun, etos bisnis umat Islam memang mengungguli etos bisnis bangsa manapun di dunia ini, sehingga pedagang Arab menguasai bisnis di banyak negara di dunia ini. Peter L. Bernstein dalam buku The Power of Gold , John Wiley and Sons, 2000, p, 66-67, menjelaskan secara eksplisit tentang kehebatan para pedagang muslim.


The Arabs had no difficulty accumulating a massif golden treasure.Their ceativity at the task was impressive… (they) outsmarted their competitors at trade. The Arabs soon succeeded in eating deeply in to the hearth of Byzantine economic power by setting themselves up as traders of extraordinary acumen and persistence. In time, They dominated the major commercial contract that and served Byzantine so well for so long. Throghout all of the Byzantine sphere of influence, even as the built new commercial relationships all along the shouthern Mediteranean. The Arab ships plied the sea down the east coast of Afrika and across the oceans to India, and China in search of profit. They even reveled northward, through the river highways Of Russia, to the Scandanavian countries, trading merchandise acquired from across the seas for furs, amber, honey and slaves

Jika dibandingkan etos bisnis orang Tionghoa dengan etos bisnis umat Islam masa lampau, ternyata naluri, budaya dan etos bisnis umat Islam lebih tinggi dari bangsa manapun di dunia ini. Namun dalam sejarahnya etos entrepreneurship tersebut mengalami penurunan oleh berbagai faktor, ada faktor internal dan ada pula faktor eksternal sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.


Melalui Indonesia Syari’ah Expo pertama yang digelar di era kebangkitan ekonomi syariah ini, etos entrepreneurship umat Islam hendaknya dapat bangkit kembali yang selama ini meredup dalam perjalanan sejarahnya.

Bank Syariah, Sang Entrepreneur


Oleh: Muhammad Imaduddin

Bismillah, Di tengah ketidakstabilan ekonomi saat ini dan masih kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi moneter, bank syariah tetap dapat mampu berdiri tegak di tengah berbagai terpaan rintangan dan persaingan yang terjadi. Potensi yang besar tersebut, harus memacu institusi perbankan syariah sendiri untuk lebih kreatif, inovatif, dan teroganisir dengan profesional. Bank syariah diharapkan mampu menjawab segala harapan dan optimisme akan pentingnya sistem Islam diterapkan dalam dunia perbankan. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui peningkatan kualitas produk yang dimilikinya.
Kita mengetahui bahwa bank syariah memiliki produk-produk yang sangat bervariatif. Berbeda dengan bank konvensional yang hanya berfokus pada produk tabungan, deposito, dan penyaluran dana secara kredit, bank syariah memiliki produk yang lebih banyak dan beragam. Terutama dalam produk pembiayaan dan penyaluran dananya. Seperti misalnya mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, dan lain-lain.

Dalam tulisan ini, penulis ingin menjabarkan tentang betapa pentingnya peningkatan jiwa entrepreneurship bank syariah melalui pengembangan produk mudharabah dan musyarakah. Sebenarnya peluang bank syariah untuk meningkatkan kinerja dan usahanya ada pada pengembangan kedua produk pembiayaan tersebut, sekaligus sebagai tantangan bagi bank syariah dalam meningkatkan efektivitas kinerjanya. Selama ini kita hanya mengetahui bahwa bank hanya berfungsi sebagai pemberi modal dan bukan sebagi pengusaha. Padahal kita mengetahui bahwa Islam sangatlah menitikberatkan umatnya agar mau dan rajin berusaha dan bekerja, atau dengan kata lain Islam sangat menganjurkan pada umatnya menjadi entrepreneur.

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT mencintai hamba-Nya yang mukmin yang mencintai pekerjaan.” Bekerja dan berusaha bagi seorang mukmin pada dasarnya merupakan perwujudan keimanan seseorang kepada Allah SWT Sang Pencipta. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT pada QS AtTaubah ayat 105: “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. Hadits dan ayat tersebut menggambarkan pada kita bahwa betapa pentingnya seorang atau sekelompok mukmin untuk terus dinamis dan bekerja dan berusaha.

Artinya jiwa entrepreneurship harus mampu menjadi acuan sesorang dalam bekerja dan berusaha. Jiwa ini pun harus mampu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bank syariah itu sendiri. Dan jiwa ini bisa dipupuk oleh bank syariah antara lain melalui pengembangan produk mudharabah dan musyarakah. Mudharabah didefinisikan sebagai akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal (shahibul maal), sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (mudharib).Mudharabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu mudaharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana usaha yang akan dijalankan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha (Syafi’i Antonio,1999) Musyarakah artinya adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/ expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Landasan musyarakah itu adalah pada sebuah hadits riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat, selama sallah satunya tidak mengkhianati yang lainnya’.” Musyarakah dibagi menjadi dua jenis, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang berakibat pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah asset nyata, dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan asset tersebut. Sedangkan musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian (Syafi’i Antonio, 1999).

Mudharabah dan musyarakah adalah akad kerjasama investasi, yang kedua-duanya itu merupakan bagian dari natural uncertainty contract (teori pencampuran). Di dalam natural uncertainty contract, tidak ada yang dapat memastikan tingkat pengembalian (return) yang diperoleh. Artinya, kedua jenis produk ini memiliki tingkat resiko yang cukup besar. Kita mengetahui bahwa sebuah resiko mempunyai dua sisi mata uang yang saling berbeda. Satu sisi merepresentasikan keuntungan, sisi lainnya ternyata juga melambangkan kerugian. Adanya ketidakpastian hasil yang diperoleh tersebut, tentu beresiko tinggi bagi bank syariah yang turut menginvestasikan dana yang dimiliki.

Pertanyaannya kini adalah, apakah bank syariah sanggup untuk mengambil resiko tersebut? Beranikah bank syariah memainkan peranannya juga sebagai bagian dari usaha? Suatu usaha memang memiliki ketidakpastian, walaupun sebenarnya kita bisa memproyeksikan hasil usaha tersebut di masa yang akan datang. Artinya, kita tidak bisa mereka-reka dan menebak apa yang akan terjadi di masa datang. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS Luqman ayat 34 : “...Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok...”.

Jadi, bagaimana mungkin kita sebagai manusia mampu mengetahui dengan pasti hasil usaha yang akan dijalankan pada masa datang. Maka, berani mengambil resiko dengan perencanaan dan pertimbangan yang matang, seharusnya diambil oleh bank syariah sebagai pilihan terbaik dalam mengembankan potensi yang dimiliki. Bank syariah mempunyai celah yang cukup baik untuk maju, apabila kontrak investasi seperti mudharabah dan musyarakah menjadi produk yang utama dibandingkan dengan produk jual beli seperti murabahah. Hal ini sesuai dengan istilah dalam dunia bisnis high risk high return, tentu dengan tidak melanggar batas-batas yang digariskan oleh syari’ah.

Terdapat beberapa alternatif solusi yang dapat dilakukan bank syariah dalam mengembangkan produk mudharabah dan musyarakah, yang intinya bekerjasama dengan pihak lain dalam menanggung resiko.

Alternatif tersebut adalah sebagai berikut :

1.Adanya lembaga penjamin yang memiliki kredibilitas dan amanah dalam memback-up usaha yang dijalankan dengan sistem musyarakah dan mudharabah. Lembaga penjamin ini bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan di kemudian hari terhadap usaha yang dijalankan. Lembaga ini bisa dikelola oleh pemerintah maupun swasta, dengan persetujuan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Lembaga ini misalnya berbentuk koperasi yang memiliki database tentang potensi usaha yang sedang baik, resiko usaha, dan mempunyai akses informasi yang cepat dan akurat terhadap perkembangan pasar, serta memiliki sumber modal yang cukup kuat dalam menjamin keberlangsungan suatu usaha.

2. Alternatif lainnya adalah dengan melibatkan Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang amanah dan profesional sebagai penjamin usaha tersebut. Kita mengetahui potensi zakat di Indonesia mencapai sekitar Rp 20 trilyun/tahun. Potensi ini apabila dapat diserap dan dikelola dengan baik oleh BAZ dan LAZ di Indonesia, maka tentu sangat besar dampaknya bagi masyarakat. Dana zakat bisa saja disalurkan sebagai dana penjamin usaha dalam rangka memajukan suatu usaha yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan meminimalisir kemiskinan.

3.Dalam menjalankan usaha, sebaiknya dilakukan secara bersama atau kolektif. Jangan mempercayakan suatu usaha pada seorang atau satu pihak saja. Karena dengan kebersamaan, maka banyak manfaat yang dapat diperoleh darinya. Dalam menjalankan usaha perlu dibentuk suatu tim yang benar-benar paham atas usaha tersebut, dimana bank syariah bisa terlibat langsung dalam tim tersebut. Tim ini nanti bekerja secara amanah dan transparan, yang bisa diaudit dan dievaluasi secara berkala. Bukankah Allah SWT sangat mencintai hamba-Nya yang hidup secara berjamaah dan berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang yang teratur dan kokoh. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT pada QS ash-Shaff :

4, yang artinya: “Sesungguhnya Allah SWT sangat mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kukuh.” .

Usaha yang dijalankan adalah di sektor riil, yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat. Selama ini sektor non-riil lebih banyak dikembangkan dengan tingkat spekulasi yang tinggi. Padahal sektor riil dapat memajukan perekonomian umat.Sehingga, tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat dengan baik.

5.Selain itupun, usaha yang dijalankan harus mempunyai prospek yang cukup baik. Usaha-usaha yang sudah mengalami penurunan dan tingkat kejenuhan yang tinggi, sebaiknya tidak menjadi pilihan alternatif yang akan dijalankan. Bank syariah harus mempunyai sasaran dan target usaha yang jelas dan layak untuk dikembangkan. Tidak hanya sekedar adanya jaminan saja. Karena, jika usaha tersebut memang layak dan baik, maka akan berdampak positif pada perkembangan bank syariah itu sendiri.

6.Para pimpinan dan karyawan di bank syariah juga sebaiknya memiliki jiwa enterpreneurship, selain memiliki kemampuan akademis dan teknis yang baik. Artinya, mereka juga harus memiliki jiwa pedagang. Jiwa ini bisa dipupuk melalui pelatihan yang disusun secara baik. Perlu adanya pelatihan bagi pimpinan dan karyawan di bank syariah yang dapat menumbuhkan jiwa pedagang. Sehingga, sense of entrepreneurship mereka dapat timbul.

7.Alternatif terakhir adalah dengan mensyariahkan pola pikir dan pola kerja dari masyarakat yang akan bekerjasama dengan pihak bank syariah dalam menjalankan suatu usaha. Langkah ini dapat diambil dengan melakukan sosialisasi terus menerus serta memberikan pemahaman yang baik pada masyarakat. Pendekatan terhadap para tokoh masyarakat, para ulama, para pejabat, dan para penggerak masyarakat perlu dilakukan dengan baik. Hal ini akan berdampak bagi masyarakat dalam memahami pentingnya berusaha dengan sistem mudharabah dan musyarakah, serta dapat menghilangkan anggapan bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional, atau bank syariah adalah lembaga sosial. Dengan demikian masyarakat dapat memahami bahwa dengan sistem tersebut dapat meningkatkan perekonomian umat, yang berdampak akhir pada kesejahteraan masyarakat dan bangsa kita. Mudah-mudahan melalui langkah-langkah tersebut dapat meningkatkan jiwa entrepreneurship bank syariah, sehingga bank syariah dapat mandiri dan berperan besar dalam meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat Indonesia, yang sebagian besar adalah petani dan pengusaha kecil. Oleh karena itulah, menjadi entrepreneur adalah suatu keniscayaan dan keharusan bagi bank syariah di Indonesia.

Wallahu 'alam

BMT : Lembaga Keuangan Mikro Syariah Yang Ideal


Oleh : M. Nur Utomo, SE


Sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah, BMT mempunyai dua sisi kelembagaan yang berbeda, tidak hanya berorientasi pada pengelolaan yang profit tetapi juga mempunyai peran sosial sehingga BMT pada satu sisi menjadikan dirinya dikelola secara professional mengikuti prinsip bisnis, disisi lain tetap membawa misi sosial pada masyarakat, keberadaan BMT ditengah-tengah masyarakat sangatlah dibutuhkan untuk mengangkat derajat para pengusaha kecil/mikro yang tidak terjangkau oleh lembaga perbankan dalam layanan permodalan.

BMT merupakan singkatan dari Baitul Maal wa Tamwil atau dapat ditulis dengan Baitul Maal wa Baitul Tamwil. Secara harfiah Baitul Maal berarti rumah dana dan baitul tamwil berarti rumah usaha. Dari pengertian tersebut memiliki makna yang berbeda dan dampak yang berbeda pula. Baitul Maal merupakan lembaga sosial yang berdampak pada tidak adanya profit atau keuntungan duniawi atau material didalamnya, sedangkan baitul tamwil merupakan lembaga bisnis yang pengelolaannya harus berjalan dengan prinsip bisnis yakni efektif dan efesien.

Dari uraian diatas dapat diartikan secara menyeluruh bahwa BMT merupakan organisasi bisnis yang juga berperan sebagai sosial. Sebagai lembaga sosial, Baitul Maal memiliki kesamaan fungsi dan perannya dengan Lembaga Amil Zakat ( LAZ ) atau Badan Amil Zakat milik pemerintah, oleh karenanya Baitul Maal ini harus didorong untuk mampu berperan secara profesional menjadi LAZ yang mapan. Fungsi tersebut meliputi pengumpulan zakat, infak, sedekah, wakaf dan dana-dana sosial lainnya serta upaya penyalurannya kepada golongan yang paling berhak menurut ketentuaan asnabiah. { QS. At Taubah 61 ; Sesungguhnya Sedekah ( zakat ) itu diperuntukkan bagi golongan fakir, miskin, para amil(pengurus zakat) , orang-orang mualaf, budak yang akan dibebaskan, orang yang berhutang, guna keperluan dijalan Allah (fi sabilillah) serta orang-orang yang dalam perjalanan. Hal itu merupakan suatu kewajiban dari Allah dan Allah maha Mengetahui lagi maha Bijaksana }

Sebagai lembaga bisnis, BMT memfokuskan pada usahanya di sektor keuangan, yakni simpan-pinjam dengan pola syari’ah. Pengelolaan ini hampir mirip dengan usaha perbankan yaitu menghimpaun dana dari anggota – masyarakat (kegiatan Funding) dan menyalurkannya kepada sektor ekonomi yang halal dan menguntungkan (kegiatan Finding). Namun BMT tidak sama dengan Bank, perbedaannya terutama pada Bank Konvensional baik penghimpunan dana (Tabungan & Deposito/funding) dan penyaluran dana (Pembiayaan/finding) oleh BMT menggunakan pola yang syariah yakni dengan prinsip Bagi Hasil dan prinsip Jual Beli. Kemudian dalam dunia perbankan usaha yang dikelola hanya dibidang jasa keuangan saja (simpan-pinjam) sedangkan pada BMT dapat melakukan difersikasi pada usaha lainnya selain dibidang keuangan, karena BMT bukan Bank tetapi lembaga keuangan non Bank, maka tidak tunduk pada aturan perbankan.

Dari perspektif hukum di Indonesia, sampai saat ini BMT menggunakan badan hukum yang paling memungkinkan adalah dalam bentuk Koperasi baik serba usaha (KSU) atau simpan-pinjam Syariah (KSPS). Dari wacana para praktisi BMT dan keuangan Syariah sangat mungkin dibentuk perundangan tersendiri bagi BMT, mengingat operasional BMT tidak sama persis dengan koperasi, semisal LKM ( Lembaga Keuangan Mikro ) Syariah atau lainnya.

Pada akhir Oktober 1995 di seluruh Indonesia telah berdiri lebih dari 300 BMT, dan setelah berjalan selama satu dekade belakangan ini, di Indonesia, telah berdiri lebih kurang 2000 unit Baitul Maal wat Tamwil yang tersebar di penjuru negeri ini. Dengan demikian, secara ekonomi lembaga BMT akan sangat membantu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Sebagai contoh, apabila 2000 BMT melayani, minimal 1000 orang nasabah, maka sebanyak 2.000.000 penduduk Indonesia dapat dijangkau atau dilayani. Dengan kata lain, dari sisi kuantitas lembaga BMT adalah banyak. Lembaga ini telah menjadi keuangan rakyat, karena keberadaannya yang dekat dengan rakyat. Sebab lembaga ini, tumbuh dan berkembang dari rakyat bawah (grass root). Akan tetapi, jika dilihat dari sisi kualitasnya, maka masih banyak BMT yang memiliki kinerja ( keuangan, sumber daya manusia, maupun aspek lain kelembagaan) yang kurang baik. Jika keadaan ini dibiarkan, maka akan menjadi ancaman berat bagi lembaga tersebut.

Tentunya untuk mengoptimalkan operasional BMT dibutuhkan tenaga SDM yang bekerja sesuai dengan konsep dasar yang dimiliki oleh BMT. Bagi karyawannya bekerja di BMT tidak hanya akan mendapatkan keuntungan secara duniawi tetapi juga sebagai ibadah dan dakwah dalam melaksanakan syariat ekonomi Islam. Terlebih BMT adalah lembaga bisnis dan sosial yang banyak membantu masyarakat sehingga disini tidak hanya dibutuhkan pekerja yang profesional tetapi juga bekerja secara ikhlas, memiliki kejujuran, rasa keadilan ,moralitas dan keagamaan yang baik, sehingga hasil dari kerja tersebut memberikan manfaat bagi orang banyak, karena sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi manfaat disekelilingnya.

Beberapa karakter yang dimiliki oleh BMT menjadikannya sebagai lembaga keuangan mikro yang ideal untuk pemberdayaan usaha mikro sekaligus membantu perluasan lapangan kerja bagi masyarakat ekonomi kecil dan menengah. Karakter-karakter tersebut antara lain sebagai berikut :

Pertama. BMT dalam menyalurkan dana (Pembiayaan) bersifat luwes tidak mesti bankable, dengan demikian penyaluran dana dapat menyentuh para pengusah mikro yang tidak terlayani akses permodalan oleh perbankan. Keluwesan disini tetap memperhatikan kelayakan dan kesehatan kredit yang diberikan menurut parameter BMT, karena banyak pengusaha mikro yang sebenarnya layak mendapatkan bantuan kredit tetapi tidak bisa terlayani oleh perbankan disebabkan berbenturan dengan aturan-aturan yang mengikat dalam dunia perbankan,misalnya kelayakan jaminan kredit, memiliki ijin usaha dan persyaratan-persyaratan lainnya yang harus dipenuhi. Disinilah peran BMT agar para pengusaha mikro tersebut tetap mendapatkan akses permodalan, jangan sampai karena tidak mendapatkan kredit di Bank mereka terjebak oleh pinjaman-pinjaman yang diberikan para Rentenir dengan biaya bunga yang sangat tinggi. Sehingga BMT dapat menjadi jembatan penyelamat antara dunia perbankan dan para rentenir yang bunga pinjamannya sangat mencekik para pengusaha mikro.

Kedua. Ciri yang paling melekat pada BMT adalah pelayanan jemput bola, para dai/marketing BMT terjun langsung kelapangan menjemput calon nasabah baik nasabah penabung maupun nasabah pembiayaan. Kebanyakan BMT-BMT di Indonesia memiliki kantor yang terletak di pasar-pasar induk dengan demikian lebih mudah pemasarannya dalam menjemput bola para pedagang kecil yang berjualan di pasar. Proses jemput bola ini akan berdampak baik bagi BMT, yakni akan cenderung memiliki para nasabah yang sehat dari sisi pembiayaan (kredit), karena dengan menjemput bola tersebut para dai/marketing BMT dapat melihat langsung kondisi usaha si pedagang, layak atau tidaknya calon nasabah tersebut mendapatkan kredit pembiayaan dari BMT, tentunya juga dilakukan analisis kelayakan kredit yang lebih mendalam berkaitan dengan usaha yang dibiayai.

Ketiga. BMT adalah Lembaga keuangan yang menerapkan Pola Syariah. Berbeda dengan lembaga keuangan atau perbankan dengan sistem konvensional yang berbasis bunga. Pembiayaan atau penyaluran dana oleh BMT kepada nasabah menggunakan akad Bagi hasil(mudharabah) dan atau Jual Beli(murabahah), sehingga transaksi ini tidak akan mendhalimi kedua belah pihak baik BMT maupun nasabah debitur. Akad bagi hasil akan sama-sama memberikan keuntungan kedua belah pihak karena transaksi ini merupakan transaksi mitra atau kerjasama, bagi hasil yang diberikan tidak tetap tetapi berfluktuatif bisa lebih besar atau lebih kecil berdasarkan penghasilan yang diperoleh nasabah. Sedangkan akad jual beli akan memberikan keamanan bagi kedua belah pihak walaupun suku bunga naik atau turun tidak akan mempengaruhi nilai pembiayaan, karena nilai pembiayaan ditentukan berdasarkan harga beli dan harga jual yang telah disepakati. Nasabah juga tidak dibebankan denda dan finalti bunga yang berganda, sehingga nasabah lebih mudah dan tenang dalam membayar kewajibannya.

Keempat. Walaupun BMT adalah lembaga keuangan syariah yang mengikuti prinsip-prinsip Ekonomi Islam, namun dalam transaksinya tidak hanya melayani khusus umat Islam saja tetapi juga dapat dilakukan kepada siapa pun termasuk dengan orang-orang non muslim. Karena dalam Ekonomi Islam muamalah itu membawa misi Rahmatan lil’Alamin, bahwa membantu dan memberikan atas dasar kasih sayang itu dilakukan kepada seluruh umat manusia bukan hanya umat Islam.

Kelima. BMT adalah lembaga keuangan non Bank, bidang usahanya tidak hanya pada jasa keuangan tetapi juga dapat mengembangkan bidang usaha lainnya, seperti misalnya Toko Waserda, Agen Travel, Toko Baju Muslim dan usaha-usaha lainnya yang dianggap memberikan keuntungan secara halal

Keenam. Seperti yang diuraikan diatas BMT didalamnya mempunyai dua kelembagaan yang berbeda yaitu Bidang Tamwil untuk orientasi profit ekonomi produktif dan bidang Maal untuk orientasi sosial. Dengan memiliki bidang Maal yang sumber dananya berasal dari zakat, infak dan sedekah dapat digunakan BMT untuk menciptakan entrepreneur-entrepreneur baru berasal dari masyarakat yang tidak mampu (tidak memiliki modal dan agunan untuk pinjaman modal). Karena dana maal dapat diproduktifkan kepada mereka sebagai pinjaman modal usaha yang tidak membebankan biaya bunga atau bagi hasil , tanpa harus memiliki agunan untuk usaha yang dibangun . Sehingga ketika mereka telah berhasil mengelola usahanya dan telah memiliki asset yang dapat digunakan sebagai jaminan, status orang-orang ini telah terangkat dari orang-orang yang tidak mampu, tidak punya penghasilan menjadi pengusaha mikro yang berkecukupan, minimal mereka mempunyai penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dana Maal ini terus digulirkan dan digulirkan kepada yang lain, maka semakin banyak yang terbantu semakin banyak juga mengurangi jumlah penganguran dan masyarakat miskin.

Dari keenam karakter di atas tidaklah naif dikatakan, bahwa BMT adalah Pahlawan Ekonomi Rakyat, karena geraknya untuk rakyat khususnya masyarakat ekonomi kecil dan menengah dimana jumlahnya sangat dominan di negeri ini.

Karena karakternya BMT dapat menjadi lembaga altenatif untuk program pengentasan kemiskinan dan menjadi pilihan sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang Ideal, untuk itu kehadirannya perlu mendapat sambutan dan dukungan dari pihak manapun, Pemerintah, Lembaga-lembaga yang memberikan Permodalan pada keuangan mikro, kalangan Investor, para Ulama, dan masyarakat umumnya.

Wallahu’alam.