Kamis, 14 Januari 2010

Spirit Entrepreneurship


“Ketegangan” antara agama dengan negara dalam masyarakat industri ekonomi liberal telah mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Arus dari ketegangan ini menjalar kepada pencitraan “pasar” yang dihembus-hembuskan oleh kaum kapitalis yang jelas-jelas menolak nilai-nilai keagamaan (Islam) dalam rasionalisasi produksinya. Puncak ketegangan dalam masyarakat industri ini melahirkan gerakan antipasar dari sayap kiri (masyarakat ekonomi sosialis), sementara di sisi lain menumbuh-suburkan benih-benih masyarakat pasar.


Melalui pola pendidikan kolonial yang sekuler, agama yang disimbolisasi dengan belajar dan bekerja sebagai ritual ibadah dalam Islam dan “pasar” yang disimbolisasi oleh entrepreneurship semakin menunjukkan watak polarisasinya. Dalam konteks yang berbeda, agaknya cerpen Robohnya Surau Kami A.A Navis dapat dijadikan potret kecenderungan sekularisasi itu pada zamannya. Namun, meski lebih dari setengah abad berselang sejak cerpen satir tersebut pertama kali diterbitkan pada 1957, sekularisme bagai sekat yang berkarat antara tembok dapur dengan ruang belajar dan ruang ibadah dalam masyarakat.

Dalam perkembangannya, pola pemisahan ini berjalan sebagai dua kutub yang semakin berlawanan. Pola pendidikan sekuler tidak saja membentuk watak pasar yang kapitalistik, tapi lebih jauh telah meluluh-lantakkan tatanan sosial, ekonomi dan budaya dalam masyarakat (Kuntowijoyo). Masyarakat terpecah ke dalam dua sistem ekonomi yang saling menghancurkan. Di satu pihak sistem ekonomi liberal melejit menjadi kekuatan dahsyat yang mengatur pasar dan masyarakat, di pihak yang lain, Islam benar-benar terpuruk dalam persoalan pelik di sekitar wilayah ekonomi ini. Umat menjadi pasif dan cenderung reaktif, teralienasi dari lingkungannya sendiri. Tak jarang, kerusuhan etnik, agama dan konflik horizontal lainnya berhulu dari persoalan yang bermotif kecemburuan ekonomi ini.

Kenyataan ini terbilang ironis jika merujuk hakikat pendidikan yang dirumus Ki Hajar Dewantoro dengan perguruan Taman Siswa-nya sebagai proses pemerdekakan manusia, serta misi perguruan swasta lain seperti Muhammadiyah dan INS Kayu Tanam pada permulaan abad 20. Seiring keruntuhannya, sistem pendidikan nasional sebagai manifestasi kebijakan pembangunan Orde Baru yang cenderung modern dan sekuler menuai badai kritik. Navis sendiri dalam esainya (Kompas, 2000) mengkritik sistem pendidikan nasional ini telah mencerabut anak bangsa dari tradisi lapangan hidup pertanian, kenelayanan, pengarajin dan mental entrepreneurship yang merupakan basis sosio-kultural masyarakat Indonesia.

Kenyataan lain, di lingkungan pesantren tradisional yang kental nuansa Islam dan pola hidup mandiri dengan berwira usaha telah mengalami pergeseran sejak masuknya sistem pendidikan Barat yang di bawa oleh pembaharu-pembaharu Islam. Clifford Geertz dalam bukunya yang menuai kritik The Religion of Java yang diterjemahkan sebagai Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa menjelaskan pergeseran tersebut bermula dari kebijakan sejumlah perguruan Islam seperti Muhammadiyah dengan sistem pendidikan yang lebih menekankan kepada persoalan organisatoris dan birokratis ketimbang hakikat filasafat pendidikan. Beban-beban akademis menjadi berhala-berhala baru yang musti disembah dan ditunaikan. Cita-cita tersebut mungkin relevan pada zamannya, namun telah menjadi bumerang pada masa kini. Kebutuhan akan lapangan pekerjaan telah menciptakan ketergantungan yang sangat besar kepada pemerintah, korporasi-korporasi kolonial dan industri imperialis lainnya.

Bentuk resistensi yang muncul sebagai akibat dari perubahan pola “tradisional” ke modern ini adalah larut dalam kegamangan, sebab sistem ekonomi berbasis Islam yang ditawarkan—dengan memberlakukan bank-bank syariah serta industri lainnya yang berbasis syariah—belum benar-benar mangkus membawa perubahan kepada perekonomian umat, sebagian lainnya malah terpesona dalam keterpurukan sebagai objek sistem ekonomi imperialis ini.

Menarik untuk mengaitkan kenyataan ini dengan persoalan yang disitir oleh Habiburrahman El Shirazy dalam novelnya Ketika Cinta Bertasbih, dengan menempatkan tokoh utama (Azzam) sebagai mahasiswa, sekaligus entrepreneur yang menggeluti produksi tempe dan bakso dengan bersandar pada nilai-nilai Islam.

Peran ganda ini terbilang ekstrim, setidaknya bagi kebanyakan masyarakat kita yang cenderung ‘konservatif’dalam menyikapi perubahan. Entrepreneur atau yang dalam bahasa kampung saya di hilir Danau Maninjau lazim disebut sebagai kaum panggaleh, bahkan bukan termasuk pilihan sadar sebagai jalan hidup bagi para mahasiswa dan sarjananya, apalagi bagi jebolan perguruan tinggi sekaliber Al Azhar di Cairo.

Seorang ibu yang mati-matian mengais rezeki di tepian sungai Batanghari guna membiayai kuliah anak-anak mereka sampai jauh ke perguruan tinggi, tentu tak pernah membayangkan mereka (anak-anaknya) hanya akan menjadi penjual tempe dan bakso. Pandangan dunia masyarakat feodal yang diwariskan kolonial, serta sisa-sisa pengaruh Hindu yang menempatkan golongan ini sebagai Waisa, menghendaki anak-anaknya menjadi ambtenar di instansi pemerintah ataupun swasta di perusahaan nasional dan asing. Namun, dengan apik Habiburrahman El Shirazy memadukan ini sebagai sebuah kesalehan sekaligus strategi pemberdayaan umat dari keterpesonaan sistem ekonomi modern.

Demikianlah agaknya, Ketika Cinta Bertasbih merupakan satu-satunya karya sastra Indonesia yang mengangkat persoalan teologi ekonomi dengan spirit entrepreneurship dalam kisahnya. Sebab, dari banyaknya karya sastra genre prosa yang terlahir, mungkin hanya Ketika Cinta Bertasbih yang secara eksplisit mengangkat persoalan biasa yang tidak sederhana ini sebagai tema sentral diantara tema lainnya yang dominan, sebagaimana disebutkan dalam kata pengantar pada buku ini.

Spirit entrepreneurship dalam diri Azzam, mahasiswa Universitas Al Azhar, Cairo dalam Ketika Cinta Bertasbih yang berprofesi sebagai produsen tempe dan bakso dalam novel ini mula-mula disebutkan sebagai sesuatu yang kondisional. Azzam dipaksa banting stir dari sekedar menjadi mahasiswa, sekaligus menjadi pengusaha. Sebab di tengah gonjang-ganjingnya ekonomi keluarga sejak meninggalnya sang bapak, tidak memungkinkan baginya untuk terus sekedar berkuliah, melulu berkutat dengan kitab-kitab. Situasi yang memojokkannya ini, pada akhirnya menjadi pilihan sadar sang mahasiswa. Alih-alih menjadi elite intelektual atau bercita-cita menjadi pegawai di salah satu kantor pemerintah atau swasta, Azzam malah bercita-cita menjadi konglomerat, dengan kekayaan separuh pulau Jawa. Tak pelak, Azzam merupakan potret manusia modern yang intelek dengan spirit entrepreneaur yang bernafaskan Islam.

Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy) tidak sekedar melekatkan semangat itu dalam diri tokohnya secara eyel-eyelan. Misalnya, sekedar sampiran yang tak penting, sebagai pengisi alur di luar alur dominan. Tapi lebih dari sekedar alur sampiran, entrepreneurship berbasis Islam sebagai wujud konseptual “oposisi” dari para pelaku pasar dalam sistem ekonomi global dewasa ini agaknya adalah ‘roh’ cerita dalam novel islami ini. Tak tanggung-tanggung, spirit yang melekat dalam diri Azzam ditonjolkan pada bagian mula sekali dalam novel dua buku ini (dwilogi), dan terus terekspos pada lembar-lembar berikutnya dalam dwilogi tersebut. Bukan sekedar narasi, secara cukup mendetil pula Habiburrahman El Shirazy mendeskripsikan cara pembuatan bakso dan tempe, laba rugi dan strategi bisnis yang dilakoni Azzam dalam kapasitasnya sebagai pedagang bakso yang mahasiswa—mungkin Azzam adalah satu-satunya mahasiswa Al Azhar asal Indonesia yang menjual bakso di Cairo.

Tak ada derogatif dalam memandang seorang pedagang bakso dalam masyarakat, malah profesi ini dipandang sebagai profesi yang luhur, meski di sana- sini terkadang Habiburrahman El Shirazy mengungkapan ‘cemooh’ sebagai refleksi pandangan dunia hampir sebagian besar masyarakat kita yang terwakili oleh para ibu di sekitar tempat tinggalnya. Namun, dengan optimis, dengan menempatkan karya sastra sebagai sarana dakwah dalam mentransformasi ajaran-ajaran Islam dalam memandang persoalan ekonomi dan kaitannya dengan nilai-nilai kemanusian, Azzam justru ditempatkan dalam posisi yang tinggi sebagai mereka yang berjihad di jalan Allah dalam kapasitasnya sebagai entrepreaneur.

Maka dengan sedikit lancang saya mengatakan bahwa novel ini sejatinya memang dimaksudkan sebagai “pemulian” kepada para saudagar, pengusaha dan kaum pedagang. Golongan yang dengan penuh percaya diri secara gigih bertarung mempertahankan hidup dengan segenap daya dalam gonjang-ganjing masyarakat benalu yang melulu menggantungkan diri kepada lembaga formal dalam pemerintahan. Sebuah satir yang tidak sinis di tengah gempita kecendrungan orang-orang untuk terjun dalam politik praktis demi menduduki kursi dalam pemerintahan. Kecenderungan yang sejauh pengamatan saya semakin menjadi-jadi pascadiberlakukannya otonomi daerah.

Dan yang lebih penting, wacana ini bukan sekedar isapan jempol atau imajinasi absurd belaka, Habiburrahman El Shirazy yang dikenal sebagai seorang penulis novel, juga dikenal sebagai pengusaha yang sejauh ini berhasil menggerakkan wirausaha. Nyatalah, gagasan entrepreneurship bukan sekedar utopi pelipur belaka, sebagai mimpi ganjil sang pengarang yang juga jebolan Universitas Al Azhar, Cairo, tapi lebih jauh, segenap gagasan dan ide tentang entrepreneurship dalam karangannya tersebut direalisasikan dalam hidupnya. Alhasil, jika separuh saja dari seluruh pengarang kita bermental entrepreneur seperti Habiburrahman El Shirazy, bisa jadi, gonjang-ganjing politik sastra terkait dana imperialis yang ditenggarai ingin menjajah kebudayaan kita akan segera pudar, sebab kesusastraan Indonesia akan mampu membiayai dirinya sendiri tanpa tergantung kepada siapapun, termasuk imperialis. (Nurul Fahmy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar